Sektor Kelautan sebagai Pintu Ekonomi Daerah

Monday, March 26, 2012 13:07 WIB   Administrator

 

Oleh: Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS


Negara kepulauan Indonesia memiliki sumber daya perairan yang cukup luas, baik sumber daya perairan laut maupun sumber daya perairan darat. Luas total kedua perairan tersebut tercatat sebesar dua per tiga dari luas negara republik ini. Menurut Saanin (1960), perairan darat (inland waters) Indonesia pada zaman penjajahan Belanda diartikan sebagai perairan yang berada di atas daratan, mulai dari batas air surut terendah sampai ke daerah pedalaman (pegunungan). Dengan demikian perairan darat tersebut meliputi sebagian perairan pantai, perairan payau, dan perairan tawar.

Dengan adanya perkembangan teknologi budidaya pantai/laut, maka pada saat ini perairan darat hanyalah diartikan sebagai perairan yang meliputi perairan payau dan perairan tawar. Sarnita et al. (1999) menggunakan istilah "perairan daratan pedalaman" sebagai terjemahan dari istilah "inland waters" yang digunakan oleh Food Agriculture Organization (FAO). Luas perairan darat tersebut diperkirakan mencapai sekitar 54 juta ha.

Perairan tawar dibagi menjadi perairan umum open waters dan perairan budidaya air tawar. Yang dimaksud dengan perairan umum adalah semua badan air yang bukan badan air yang digunakan untuk usaha budidaya ikan air tawar (kolam, tambak dan sawah).

Dengan demikian perairan umum meliputi danau, waduk (danau buatan), sungai, rawa banjiran (flood plains) dan genangan air lainnya. Perairan umum tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan karakteristik ekologi dan perikanan yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Selain kegiatan perikanan, perairan umum dimanfaatkan pula oleh berbagai sektor pemanfaat seperti pembangkit tenaga listrik, irigasi pertanian, pasokan air minum, industri, navigasi, pariwisata, dan pembuangan limbah.

Aset Nasional

Sumber daya perikanan perairan umum merupakan suatu sumber daya alam yang bersifat dapat pulih (renewable), akses yang terbuka (open access), dan milik umum (common property). Sifat-sifat tersebut membuka peluang terjadinya eksploitasi berlebih sehingga sumber daya alam tersebut harus dikelola secara rasional agar aset nasional tersebut menjadi lestari. Di lain sisi keharusan untuk mengelola secara bijaksana potensi tersebut   dikarenakan sumber daya alam itu merupakan kekayaan nasional yang bersifat terbuka bagi seluruh rakyat di negara ini.

Potensi perikanan perairan umum Indonesia cukup besar. Namun upaya pemanfaatan dan pengelolaannya masih belum optimal, meskipun usaha penangkapan ikan telah sejak dulu dilakukan oleh masyarakat nelayan di sekitarnya.

Luas seluruh lahan perairan umum tercatat sekitar 13,85 juta ha, terdiri dari 0,05 juta danau buatan (man-made lake), 1,8 juta ha danau alam (natural lake) serta 12,0 juta ha sungai dan rawa banjiran (flood plain). Luas lahan perairan umum ini masih berubah-ubah dengan dibentuknya waduk-waduk (danau buatan) di satu pihak dan reklamasi lahan rawa banjiran di lain pihak.

Potensi produksi perikanan perairan umum, yang sebagian terbesar terdapat di Kalimantan, ditaksir sebesar 0,8 - 0,9 juta ton (Samita, 1986). Mengingat estimasi potensi produksi tersebut dilakukan sekitar 40 tahun yang lalu, maka pada saat ini potensi produksi tersebut harus sudah diestimasi kembali.

Keharusan untuk melakukan reestimasi potensi sumber daya perikanan di perairan umum di samping disebabkan karena kemungkinan adanya perubahan biologi perikanan yang besar selama kurun waktu 40 tahun tersebut, juga disebabkan karena luas perairan umum pada saat ini berubah banyak. Seperti kita ketahui sejumlah satu juta ha lahan perairan umum (sungai dan rawa banjiran) di Kalimantan Tengah baru-baru ini telah diubah menjadi lahan pertanian.

Hal serupa terjadi pula di Jawa dalam skala yang jauh lebih kecil. Beberapa danau kecil di Jawa Barat telah direklamasi menjadi daerah permukiman atau fungsinya dialihkan menjadi daerah rekreasi, rumah makan, atau lainnya. Beberapa perairan umum lainnya luasnya berkurang akibat kekeringan yang berkepanjangan ataupun karena tingkat pendangkalan (sedimentasi/siltasi) yang cukup tinggi.

Penghasil Ikan Hias

Di samping mempunyai potensi yang cukup besar sebagai sumber daya ikan konsumsi, perairan umum juga berpotensi sebagai penghasil ikan hias. Pada saat ini terdapat 2 jenis ikan hias air tawar yang menjadi komoditas ekspor utama, yaitu ikan botia (Botia macracanthus dan Botia sp.) dan ikan arwana (Sclerophagus formosus).

Ikan arwana merah (red dan super red arwana) terutama dihasilkan oleh perairan umum di Kalimantan Barat. Sedangkan ikan botia dihasilkan dari perairan umum di Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Ikan arwana perak kehijauan (silver green arwana), arwana kuning (golden arwana) banyak terdapat di perairan umum di Sumatra, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sementara itu, di perairan umum sekitar Merauke (bagian selatan Irian Barat) banyak ditemukan ikan arwana perak (silver arwana, Sclerophages jardini).

Selain ikan botia dan ikan arwana, beberapa jenis ikan seluang (Rasbora spp.) juga merupakan jenis ikan hias air tawar yang banyak dihasilkan oleh perairan umum di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Di perairan umum di Kalimantan dan Sumatera, selain ikan botia dan seluang, anak ikan tilan (Mastocembellus sp.) dan gabus/toman (Channa spp.) juga merupakan jenis ikan hias air tawar yang penampilannya cukup menarik.

Di perairan umum di Irian Jaya ditemukan jenis ikan hias yang endemik, yaitu ikan pelangi (rainbow, Melanotaenia ayamaruensis). Jenis ikan hias ini terutama banyak tertangkap di Danau Ayamaru, Kabupaten Sorong, dan sedikit tertangkap di danau-danau lainnya di Irian Jaya seperti di Danau Sentani dan Danau Paniai.

Sebagai akibat dari penangkapan yang berlebihan dan sampai batas tertentu akibat adanya pencemaran, salah satu jenis ikan hias air tawar, yaitu ikan ketutung (bala shark, Balantiocheilus melanopterus), yang biasanya banyak dihasilkan oleh perairan umum di Sumatera, pada saat ini sudah sangat jarang sekali tertangkap (hampir punah). Ikan hias ini dulunya merupakan jenis ikan hias air tawar yang banyak diekspor ke luar negeri dan hanya di Kalimantan Tengah saja nelayan setempat masih banyak menangkap jenis ikan ini.

Potensi lainnya dari sumber daya perikanan perairan umum adalah potensi plasma nutfah ikan dan biota air lainnya. Tidak kurang dari 1.100 jenis ikan air tawar terdapat di perairan umum di Indonesia. Perairan umum Kalimantan memiliki tidak kurang dari 600 jenis ikan. Di Kawasan Suaka Danau Sentarum, tercatat lebih dari 200 jenis ikan air tawar.

Beberapa jenis ikan dari perairan umum di Kalimantan dan Sumatera seperti ikan lampam (Barbus schwanefeldi), tengadak (Barbus bulu), patin kunyit (Pangasius kunyit), baung (Mystus spp.), lais (Cryptopterus spp.), dan ikan betutu (Oxyeleotris marmoratus) berpotensi untuk dikembangkan menjadi komoditas ikan budidaya. Bahkan satu jenis ikan dari perairan umum, yaitu ikan jelawat (Leptobarbus hoeveni), sudah sejak lama berhasil ditangkarkan. Kekayaan plasma nutfah tersebut merupakan modal utama untuk menghasilkan spesies unggul melalui pengembangan rekayasa genetiknya.

Di samping kaya akan plasma nutfah ikan, perairan umum di Indonesia kaya akan jenis plankton dan tumbuhan air (higher aquatic plant). Perairan umum di Kalimantan Barat terkenal sebagai salah satu perairan tawar yang terkaya akan jenis plankton di dunia.

Desmidiaceae dan Copepoda merupakan organisme-organisme plankton yang sering dijumpai di perairan umum di Kalimantan. Di antara tumbuhan air, ilung (Eichhornia crassipes), kiambang (Salvinia spp, Pistia spp.), ganggang (Hydrilla spp., Ceratophyllum sp., Myriophyllum sp.) rumput-rumputan (Gramineae) dan jungkal (Pandanaceae) merupakan individu-individu yang banyak dijumpai di perairan umum di Sumatera dan Kalimantan.

Selain potensi biota airnya, pada saat ini sebagian dari lahan perairan umum digunakan untuk usaha pemeliharaan ikan dalam karamba, baik karamba jaring  apung maupun karamba bambu/kayu. Karamba jaring apung banyak terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedang karamba bambu/kayu banyak dijumpai di Sumatera dan Kalimantan.

Mendominasi

Sejak lama perairan umum telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan untuk menangkap ikan, baik untuk keperluan konsumsi sendiri maupun sebagai salah satu mata pencahariannya. Namun demikian usaha penangkapan ikan di perairan umum sampai saat ini, dan untuk selanjutnya, merupakan suatu usaha perikanan berskala kecil.

Hasil tangkapan ikan dari perairan umum selama kurun waktu 1960-1980 mendominasi produksi perikanan darat. Selama periode tersebut, 56-78% produksi perikanan darat merupakan hasil tangkapan ikan dari perairan umum.

Dengan berkembangnya teknik budidaya dan pakan buatan untuk ikan, sedangkan di lain pihak teknologi perikanan tangkap di perairan umum tidak berkembang dengan memadai, maka sejak 1981 kontribusi produksi ikan dari perairan umum menurun dari 52,5 % (1981) menjadi 23,5 % (2000).

Jenis ikan konsumsi yang banyak tertangkap dari perairan umum di antaranya adalah ikan lais (Cryptopterus spp.), baung (Mystus spp.), toman/gabus (Chana spp.), tambakang (Helostoma temmincki), lampam/tengadak (Barbus spp.), jelawat (Leptobarbus hoeveni), sepat (Trichogaster pectoralis), nilem (Osteochilus hasselti), patin (Pangasius spp.), hampal (Hampala macrolepidota), dan betutu (Oxyeleotris marmoratus).

Selain ikan konsumsi nelayan perairan umum, terutama nelayan di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat juga menangkap ikan hias (Botia dan Rasbora). Ikan rasbora (seluang) mereka tangkap sepanjang tahun, sedangkan ikan botia (ulang uli) mereka tangkap (terutama di Kalimantan Barat) selama permulaan musim hujan.

Dari dua pengusaha ikan botia di Kalimantan Barat saja --PT Wajok Inti Lestari dan M. Amin Andika— pada 2002 telah dibawa ke Jakarta sebanyak 220.000 ekor. Ikan tersebut selanjutnya diekspor ke Singapura, Malaysia, dan Belanda.

Sebetulnya jumlah hasil tangkapan ikan botia dari perairan umum di Kalimantan jauh lebih banyak dari itu. Selama 1997-1998 saja PT Wajok Inti Lestari (Pontianak, Kalimantan Barat) menampung ikan botia sejumlah 12 juta ekor, sedangkan pada 2001-2002 perusahaan ini menampung ikan botia sebanyak 2 juta ekor. Harga ikan botia dari nelayan di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) berkisar antara Rp 300 – Rp 500 per ekor (Henrie 2004).

Pada tahun 2002, nelayan yang beroperasi di perairan umum jumlahnya berkisar sekitar 618.500 orang, terdiri dari 141.000 nelayan penuh (full time), 370.000 nelayan sambilan utama (major part time) dan 107.500 nelayan sambilan tambahan (minor part time). Seperti halnya nelayan di laut, nelayan perairan umum juga merupakan golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Pada 2000 hasil tangkapan ikan dari perairan umum berjumlah 305.212 ton. Dengan demikian pendapatan rata-rata nelayan perairan umum pada tahun 2002 hanya sekitar Rp.1.723.000 atau sekitar Rp. 143.600 per bulan (dengan harga rata-rata ikan Rp. 3.500 per kg). Pendapatan nelayan tersebut tentu saja sangat bervariasi menurut musim dan komoditas yang tertangkap karena beberapa jenis ikan mempunyai harga yang cukup tinggi seperti udang galah patin dan belida.


Sumber: http://ppnsi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=166:membangun-ekonomi-nasional-dari-perairan-umum&catid=29:perikanan-a-kelautan&Itemid=116

 

Shared: