Indonesia memiliki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia melalui alur ruaya Madidihang, dengan wilayah pengelolaan kode 71 (FAO 2007). Madidihang di Perairan Samudera Hindia habitatnya terdapat di lapisan campuran (mixed layer) dan termoklin, yaitu pada kedalaman 200-250 m Indonesia, wilayah tersebut, diantaranya berada di WPP 573. Namun demikian, status potensinya (stock) pada saat ini diperkirakan telah mengalami overfishing atau mendekati overfishing (IOTC 2011). Perkiraan ini didasarkan kepada hasil tangkapan dunia di wilayah tersebut, selama periode 2003-2006, yaitu dengan rataan 464.000 ton sementara Maximum Sustainable Yield (MSY) diestimasi sekitar 300.000 ton, sehingga di masa yang akan datang keberlanjutannya sangat mengkhawatirkan (ISSF 2011).
Guna kepentingan konservasi dan keberlanjutan, dalam konteks global pengelolaanya di atur oleh suatu organisasi perikanan regional, yaitu Indian Organization Tuna Commision (IOTC). IOTC, pada tahun 2012 akan mengatur dan membagi kuota jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Alowable Catch, TAC) untuk masing-masing negara anggota, termasuk Indonesia (IOTC 2011). Ketentuan lain yang harus dipatuuhi oleh Indonesia adalah ketetapan, pemberlakuan langkah dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, jumlah upaya tangkap, musim penangkapan, musim tidak menangkap, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. Apabila aturan ini tidak dipatuhi maka dianggap melakukan kegiatan penangkapan yang illegal, yang akan berdampak dalam pemasaran hasil (ekspor).
Ketentuan tersebut selain membawa keuntungan juga menjadi permasalahan bagi nelayan Indonesia, karena nelayan Indonesia harus bersaing dengan nelayan-nelayan asing yang berteknologi tinggi sementara nelayan Indonesia pada umumnya berteknologi rendah, termasuk nelayan tuna Sendang Biru. Dalam rangka adaptasi terhadap aturan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap fishing ground, hasil tangkapan dan armada tangkap nelayan tuna Sendang Biru Kabupaten Malang. Berbagai antribut dianalisis, terutama yang berkaitan langsung dengan diimensi ekologi, disamping dimensi ekonomi, teknologi,sosial dan kelembagaan. Masing-masing antribut selanjutnya dinilai indeks keberlanjutannya, sehingga masing-masing diketahui pula nilai levarge-nya. Nilai ini, selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam menentukan kebijakan upaya perbaikan pada kegiatan perikanan tangkap Madidihang yang mengacu pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), yaitu pengelolaan yang mengacu pada konsep pengelolaan yang bertanggung jawab dan keberlanjutan.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kondisi hydro-oceanografi fishing ground diperoleh hasil untuk suhu menegak, DO dan konsentrasi klorofil-a diperoleh gambaran sebagai berikut bahwa lapisan campuran terhadap pada kolom air antara 0-29 m pada musim barat dan 0-49 m pada musim timur, dengan suhu, DO dan konsentrasi klorofil-a rataan amsing-masing 26.36-28.85OC dan 24.32-28.72OC, 3.82-4.56 mg/l dan 4.02-4.69 mg/l serta 0.07-03.38 mg/l dan 0.14-5.96 mg/l. sedangkan lapisan termoklin pada musim barat terhadap pada kedalaman 30-149 m dan 50-199 m pada musim timur. Konsisi suhu dan DO pada masing-masing musim tersebut berada pada kisaran 13.26-28.17OC dan 13.51-28.21OC; 2.37-4.39 mg/l. berdasarkan pada korelasi silang antara suhu permukaan dengan CPUE diperoleh hubungan yang negatif, sedangkan antara krolofil-a dengan CPUE diperoleh hubungan yang positif artinya bahwa CPUE naik pada saat terjadinya peningkatan konsentrasi krolofil-a.
Penggunaan rumpon oleh nelayan sekoci Sendang Biru, berperan penting sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan tuna, karena kapal sekoci memiliki ukura kecil, yaitu panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2 m, sehingga tanpa keberadaan rumpon pada kondisi perairan Samudera Hindia yang ekstrem sulit untuk melakukan penangkapn. Manfaat rumpon bagi nelayan sekoci, diantaranya adalah (1) hasil tangkapan besar (2) biaya operasional relatif rendah, dan (3) memperpanjang masa tangkapan, dari 6 bulan menjadi 8-10 bulan, bahkan ada yang melaut sampai 12 bulan. Jenis ikan tuna yang tertangkap dominan adalah Madidihang (36.71%). Tingginya hasil tangkapan di rumpon tersebut berdampak terhadap peningkatan jumlah armada sekoci, yaitu pada tahun 2001 sejumlah 77 unit meningkat menjadi 303 unit pada tahu 2010. Meningkatnya jumlah kapal sekoci tersebut menggambarkan bahwa secara ekonomis usaha penangkapan ikan tuna dengan menggunakan kapal sekoci menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kelayakan, yaitu : R/C ratio dan profitability masing-masing berkisar antara 1.74-2.02 dan 58-94% dengan payback period selama 27 bulan.
Hasil evaluasi nilai indeks keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya Madidihang, dimensi ekologi, ekonomi, dan teknologi masing-masing adalah 78.78%, 72.60%, 72.56% dan berkategori cukup berkelanjutan, sedangkan untuk dimensi sosial dan kelembagaan 39.44% dan 39.57% dengan kategori kurang berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan multi dimensi menunjukan status cukup berkelanjutan, namun demikian perbandingan nilai keberlanjutan multidimensi sebarannya untuk indeks dari kelima dimensi tersebut tidak berimbang. Hal ini berarti bahwa kegiatan pemanfaatan sumber daya Madidihang di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci pada masa yang akan datang keberlanjutannya mengkhawatirkan. Kestabilan nilai indeks keberlanjutan dapat terjaga apabila kegiatan usaha penangkapan Madidihang tersebut diadakan perbaikan atau penataan terhadap antribut-antribut sensitif, terutama pada dimensi sosial dan kelembagaan.
keyword; Madidihang, rumpon, CPUE, keberlanjutan dan ZEEI
DAVID HERMAWAN. Desain pengelolaan Perikanan Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Dibimbing oleh : MENNOFATRIA BOER, ROKHMIN DAHURI, WIDODO FARID MA’RUF dan SUGENG BUDIHARSONO.