Kemah Riset Perikanan Wilayah(KRPW) merupakan agenda tahunan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia(HIMAPIKANI) wilayah IV. Kegiatan yang berlangsung di Lembaga Kemahasiswaan Perikanan Universitas Tujuh Bekas Agustus 1945 ini dilakukan selama 4 hari mulai tanggal 18-21 februari 2013 yang diikuti oleh beberapa Lembaga Kemahasiswaan Perikanan(LKP) di wilayah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara termasuk Universitas Muhammadiyah Malang. Inti kegiatan dari agenda KRPW ini adalah melakukan riset perikanan yang meliputi perikanan budidaya, pesisir dan penangkapan yang ada di daerah Banyuwangi. Setelah melakukan riset, dilakukan perumusan solusi untuk memecahkan permasalahan atau konflik yang dihadapi para pelaku perikanan di daerah Banyuwangi yang kemudian diteruskan ke pihak-pihak terkait berupa prosiding kegiatan.
Riset perikanan budidaya dilakukan di Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan(PM2KP) Raja Lele. PM2KP Raja Lele merupakan binaan dari Dinas Perikanan dan Kelautan setempat. Kegiatan budidaya yang dilakukan oleh PM2KP Raja Lele yaitu adalah kegiatan pembenihan ikan lele sekaligus pembesarannya. Benih yang di tebar berasal dari persilangan induk sangkuriang. Benih yang di tebar diproduksi sendiri. Padat tebar dalam melakukan budidaya pembesaran lele adalah 2000/m2. Terlihat aneh, namun ini kenyataan yang ada di lapangan. Meski padat tebar sangat tinggi, namun pertumbuhan ikan juga relatif baik dengan angka SR mencapai 80%. Namun dalam melakukan budidaya ini perlu disediakan banyak kolam, karena setiap 10 hari sekali dilakukan greeding untuk mengurangi jumlah biomassa yang ada di kolam penebaran awal.
Selanjutnya yaitu riset mengenai daerah pesisir dan penangkapan perikanan yang dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan(TPI) Muncar Banyuwangi dengan dasar pemilihan lokasi sebagai kawasan Minapolitan dan adanya penurunan hasil tangkapan . Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan langsung di lapangan , ternyata banyak sekali permasalahan atau konflik yang terjadi di TPI Muncar. Permasalahan yang ditemukan di lapangan adalah
1. Kurangnya pasokan BBM akibat ketersediaan SPBN yang tidak mencukupi untuk semua armada
2. Bantuan pemerintah yang dinilai nelayan tidak tepat sasaran
3. Konflik dengan nelayan luar muncar
4. Tidak adanya pengolahan limbah sisa kegiatan perikanan yang mencemari kawasan Muncar
5. Alokasi retribusi yang tidak jelas peruntukkannya.
Salah konflik yang terjadi adalah konflik antar nelayan yaitu antara nelayan purse seine lokal dan nelayan andon. Istilah nelayan andon sebenarnya hanya untuk menyatakan seseorang atau beberapa orang yang ada dan beroperasi disuatu daerah dan daerah tersebut bukan merupakan tempat tinggalnya atau bukan merupakan tempat asli nelayan tersebut. Inti dari masalah atau konflik yang terjadi antar nelayan adalah kecemburuan terhadap hasil tangkapan yang berbeda. Sebenarnya jika nelayan lokal dan andon sama-sama mendapatkan hasil, hal tersebut tidak menjadikan masalah. Akan tetapi jika nelayan andon mendapat hasil tetapi nelayan lokal tidak mendapat hasil maka hal tersebut memicu terjadinya konflik.
Pada dasarnya konflik terjadi karena masalah kecemburuan sosial dan ekonomi. Hal tersebut terlihat dari sisi Sumber Daya Manusia(SDM) nelayan andon yang lebih baikdaripada nelayan lokal, karena nelayan pantai utara lebih bisa menerima alih teknologi, terutama teknologi yang berhubungan dengan alat tangkap serta cara menangkap ikan yang lebih modern. Hal itu terbukti dengan adanya perbedaan alat tangkap yang digunakan antara nelayan lokal dan nelayan andon. Nelayan lokal memilih menangkap ikan dengan peralatan tradisional yaitu menangkap ikan dengan tanpa lampu, kalaupun menggunakan lampu itupun hanya sebagai penerangan ketika akan melaut. Sedangkan nelayan andon justru menggunakan lampu terang benderang saat melakukan penangkapan ikan, bahkan lampu tersebut dimasukkan ke dalam air sehingga banyak ikan-ikan yang mengumpul di sumber cahaya tersebut yang akhirnya bardampak pada hasil tangkapan yang didapatkan. Adanya perbedaan cara tangkap antara nelayan lokal dan nelayan andon di latar belakangi karena pola pikir masyarakat nelayan lokal yang masih sangat tradisional yaitu menangkap ikan dengan mengedepankan naluri dan kebersamaan ketika turun ke laut. Selain itu masyarakat nelayan lokal selalu berfikir bagaimana memberikan warisan yang baik berupa kekayaan laut kepada generasi penerusnya.
Untuk itu , HIMAPIKANI Wilayah 4 memberikan rekomendasi kepada DKP Banyuwangi dan pihak-pihak terkait tentang temuan riset di lapangan.Berikut merupakan rumusan rekomendasi
1. Peningkatan SDM melalui kegiatan penyuluhan, sosialisasi dan pelatihan
2. Adanya standarisasi harga ikan di tiap wilayah
3. Menghidupkan kembali sistem lelang di TPI
4. Progam pemerintah dilakukan tepat sasaran sehingga lebih efektif dalam membantu mengentaskan kemiskinan nelayan
5. Perbaikan dan peningkatan fasilitas di kawasan TPI
Kegiatan KRPW diakhiri dengan seminar yang membahas tentang penyampaian materi oleh Bapak Yanuar, S.Pi sebagai pengusaha udang vanname dalam pengembangan teknologi budidaya udang vanname menggunakan semiflok.Hal ini merupakan informasi baru yang berguna untuk memperluas wawasan mahasiswa dalam kegiatan budidaya terutama udang vanname. Beliau memamaparkan dengan menggunakan sistem semiflok dirasa paling tepat jika menilik dari kebutuhan kuantitas dan kualitas perairan yang semakin menurun. Sistem BFT (Biofloc technology) yang menggunakan pin point floc /small biofloc untuk budidaya akuakultur, khususnya pada budidaya udang putih atau udang windu. Pin floc / small floc diperoleh dan dibentuk dengan pengkondisian jumlah floc forming bacteria (pada khususnya genera Bacillus sp dan Pseudomonas putida) yang ditambahkan secara kontinyu dan teratur ke dalam sistem budidaya agar diperoleh rasio jumlah floc forming bacteria > bakteri filamen atau minimal jumlah floc forming bacteria = jumlah bakteri filamen. (rpa/rfi)